Mengenang Peristiwa G30S/PKI, Inilah Kisah Letjen MT Haryono yang Jadi Korban Pembantaian Pasukan Cakrabirawa

Kamis, 29 September 2022 | 10:15
kompas.com

Letjen MT Haryono, salah satu korban peristiwa G30S/PKI.

GridHype.ID - Peristiwa G30S/PKI tentu jadi salah satu insiden yang tak terlupakan bagi bangsa Indonesia.

Seperti diketahui, peristiwa G30S/PKI yang terjadi 57 tahun lalu, tepatnya 30 September 1965 telah menewaskan sejumlah jenderal TNI AD.

Melansir Kompas.com, mereka yang menjadi korban peristiwa G30S/PKI ini adalah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono.

Ada juga Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo, Lettu Pierre Andreas Tendean.

Ya,Letnan Jenderal (Letjen) TNI Anumerta Mas Tirtodarmo (MT) Haryono,salah satu petinggi TNI AD juga menjadi korban dalam peristiwa yang memilukanini.

Mengutip Intisari Online, di kediamannya di Jalan Prambanan Nomor 8, Jakarta, MT Haryono tewas ditembak oleh pasukan Cakrabirawa.

Dengan dimasukkan ke dalam truk, jenazah MT Haryono kemudian dibawa ke Lubang Buaya Jakarta Timur.

Bersama para petinggi TNI AD lainnya, jenazah MT Haryono pun dimasukkan ke dalam sumur kecil yang ada di Lubang Buaya.

Lalu, pada 4 Oktober, jenazah korban peristiwa G30S/PKI ini ditemukan dan diberi pemakaman kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada keesokan harinya, 5 Oktober 1965.

Seluruh korban peristiwa G30S/PKI itu pun diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno.

Seperti tercantum dalam buku Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap (2012) karya Minarwati, dikisahkan bahwa Letjen MT Haryono sempat melawan saat akan diculik oleh pasukan Cakrabirawa yang dipimpin Serma Boengkoes.

Baca Juga: Dulu Jadi Tontonan Wajib Tiap Tahun, Ternyata Inilah Sosok di Balik Dihentikannya Penayangan Film G30S PKI

Ketika peristiwa kelam tersebut terjadi, pintu rumah MT Haryono diketuk dan terdengar jawaban dari dalam rumah.

“Kalau mau ketemu besok pagi saja di kantor jam 08.00 WIB,” katanya.

Tanpa jawaban, pasukan Cakrabirawa langsung mendobrak pintu depan danmasuk ke dalam rumah yang gelap karena MT Haryono mematikan lampu rumah.

Ketika pintu terbuka MT Haryono langsung merebut senjata dari pasukan Cakrabirawa, namun dia akhirnya tertembak di belakang dan tewas.

Bersaing dengan PKI

Saat MT Haryono diangkat sebagai Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) dengan pangkat Mayor Jenderal pada 1 Juli 1964, situasi bangsa Indonesia dilanda berbagai pemberontakan.

Salah satu pemberontakan yang merongrong bangsa Indonesia ketika itu adalah PKI.

Ketika itu PKI mengusulkan untuk membuat Angkatan Kelima dengan mempersenjatai kaum buruh dan para tani.

Atas usulan tersebut, MT Haryono dan perwira tinggi lainnya menolak. Akibatnya, mereka pun dimusuhi dan menjadi target pada peristiwa G30S/PKI.

Sementara situasi politik Indonesia saat itu, ketika MT Haryono menjabat sebagai Menpangad, sedang panas karena konfrontasi dengan Malaysia, mengutip dari Historia.

Di dalam negeri sendiri, AD bersaing keras dengan PKI demi merebut pengaruh Soekarno.

Baca Juga: Rumah Jenderal Ahmad Yani Jadi Saksi Bisu Pembantaian G30S, Kini Dijadikan Museum dengan Salah Satu Ruangan yang Tak Boleh Difoto, Ini Alasannya

Akibat situasi politik yang tidak menentu tersebut, MT Haryono pun sering ikut rapat dengan Presiden hingga larut malam.

Diskusi tentang perpolitikan nasional pun dilakukan MT Haryono dengan rekan-rekannya, termasuk berkonsultasi pada Letjen Ahmad Yani.

Tidak seperti biasanya, MT Haryono sering melamun saat mendengarkan musik sebelum akhirnya jadi korban peristiwa G30S/PKI.

Cita-cita jadi dokter kandas

Lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924, MT Haryono mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter.

Dia memperoleh pendidikan di Eurospeesch Lagere School (ELS), kemudian dilanjutkan menempuh pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS).

Setamat dari HBS, MT Haryono melanjutkan pendidikannya di Ika Dai Gakki (Sekolah Kedokteran) pada masa pendudukan Jepang di Jakarta.

Karena saat itu Indonesia sedang masa perang mempertahankan kemerdekaan, dia keluar dari sekolah kedokteran dan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Kemampuannya menguasai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jepang, membuatnya diikutsertakan dalam berbagai perundingan.

Seperti dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus-2 November 1949, dia dipercaya sebagai sekretaris delegasi militer Indonesia.

Baca Juga: Adanya Campur Tangan Seokarno yang Selamatkan Nyawanya, Mengungkap Satu-satunya Jenderal yang Lolos dari Penculikan G30S/PKI

(*)

Tag

Editor : Nailul Iffah

Sumber Kompas.com, intisari-online.com