GridHype.ID - Bulan Ramadan jadi momen umat muslim untuk makin mendekatkan diri pada Allah.
Umat muslim berlomba untuk mempertebal keimanan mereka di bulan Ramadan yang suci.
Bagi umat Islam, 20 hari terakhir di bulan Ramadhan, khususnya di malam-malam hari ganjil, dipercaya sebagai turunnya lailatul qadar yang disebut lebih mulia dari seribu bulan.
Untuk menyambut datangnya lailatul qadar, Keraton Surakarta memperingatinya dengan menggelar tradisi unik bernama malam selikuran yang digelar pada 20 Ramadhan atau malam 21 Ramadhan.
Dalam tulisannya, Tradisi Malam Selikuran Kraton Kasunanan Surakarta, Syamsul Bakri dan Siti Nurlaili Muhadiyatiningsih menerangkan bahwa malam selikuran dikembangkan oleh Sultan Agung.
Akan tetapi, ritual ini sempat mengalami pasang surut.
Di Keraton Surakarta, malam selikuran dihidupkan lagi oleh Pakubuwana IX dan mengalami puncaknya pada masa Pakubuwana X.
Di era Pakubuwana X, tradisi unik ini diadakan secara kirab dari Keraton menuju Masjid Agung Surakarta.
Di masjid ini, nasi tumpeng yang dibawa oleh para abdi dalem didoakan oleh pemuka agama.
Usai prosesi itu selesai, rombongan menuju Taman Sriwedari yang menjadi titik finis.
Selain tumpeng, dalam arak-arakan ini para abdi dalem juga membawa membawa lampu ting (lentera).
Hingga kini, malam selikuran masih dijalankan. Namun, rute kirab diperpendek hanya sampai Masjid Agung saja.
Makna lampu ting dan tumpeng
Salah satu yang khas dari tradisi malam selikuran Keraton Surakarta ialah adanya lampu ting.
Lampu ini merupakan simbol dari obor yang dibawa para sahabat tatkala menjemput Nabi Muhammad SAW yang turun dari Jabal Nur seusai menerima wahyu.
Dalam malam selikuran, para abdi dalem juga membawa tumpeng berjumlah seribu.
Syamsul dan Siti menuliskan, jumlah tersebut melambangkan pahala setara seribu bulan, yakni pahala yang dijanjikan Tuhan kepada hamba-Nya yang ikhlas beribadah pada malam lailatul qadar.
Nasi tumpeng itu berisi nasi gurih berbentuk tumpeng kecil disertai kedelai hitam, cabai hijau, rambak, dan mentimun.
Saat kirab, nasi tumpeng dimasukkan ke dalam ancak cantoka atau jodang yang terbuat dari besi dan kuningan.
Puncak dari malam selikuran adalah pembagian nasi tumpeng.
Selepas pemuka agama mengucap doa, nasi tersebut dibagikan kepada para abdi dalem dan masyarakat.
(*)