Gitaris Rock Legendaris Eddie Van Halen Meninggal Dunia, Miliki Darah Indonesia Hingga Jadi Imigran dari Rangkasbitung ke Amerika

Rabu, 07 Oktober 2020 | 12:15
YouTube

Eddie Van Halen

Gridhype.id-Kabar duka menyelimuti dunia permusikan. Gitaris rock legendaris Eddie Van Halen meninggal dunia pada usia 65 tahun.

Kematian gitaris legendaris itu diumumkan oleh putranya Wolf Van Halen.

“Saya tidak percaya harus menulis ini. Pagi ini aya saya, Edward Lodewijk Van Halen, telah kalah dalam perjuangan panjang dan sulit melawan kanker,” tulis Wolf di akun Twitter-nya, @WolfVanHalen.

Baca Juga: Breaking News, 5 Bulan Jalani Rehabilitasi Roy Kiyoshi Pulang ke Rumah: Aku Mau Dimanja Papa Mama

“Dia ayah terbaik bagi saya. Setiap waktu saya bersamanya di atas dan di luar panggung adalah hadiah,” lanjut Wolf.

“Saya sangat sedih dan rasanya tidak mungkin pulih dari kehilangan ini. Saya menyayangimu Ayah,” pungkas Wolf.

Sebuah sumber yang dikutip People, kondisi Eddie Van Halen merosot tajam dalam tiga hari terakhir.

Sementara itu TMZ melaporkan, kanker yang diidap Eddie Van Halen telah menyebar ke otak.

Baca Juga: Bawa Keluar Benda Tak Terduga dari Dalam Rahim Sang Ibu, Foto Bayi ini Langsung Viral di Media Sosial

Menurut TMZ, pria berdarah Indonesia itu mengembuskan napas terakhir di Santa Monica.

Pemilik nama lengkap Edward Lodewijk "Eddie" Van Halen ini merupakan imigran Belanda yang lahir di Amsterdam dan datang ke Amerika Serikat ketika berusia tujuh tahun.

Eddie terlahir dari pasangan Jan Van Halen, seorang pemain saksofon Belanda yang memiliki keturunan Swedia, serta sang ibu Eugine van Beers yang merupakan seorang Eropa Indonesia dari Rangkasbitung.

Baca Juga: Tak Hanya Kaya Akan Vitamin C, Kulit Lemon Juga Bisa Angkat Sel Kulit Mati

Banyak yang mengira ia terlahir sebagai bintang rock. Namun perjalanan karirnya tidak semudah itu.

Eddie harus menyusuri jalan kehidupan yang berliku saat masa kecilnya.

Keluarga Van Halen berimigrasi ke California pada 1962 membawa mimpi tinggal di "tanah terjanji".

Ayahnya adalah musisi yang juga bekerja sebagai seorang cleaning service.

Baca Juga: Pria 54 Tahun ini Meregang Nyawa Setelah Kebanyakan Mengkonsumsi Akar Manis, Sehari Bisa Habiskan Satu Kantong Setengah

Sementara itu, ibunya yang keturunan Indonesia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Keluarga Van Halen pernah tinggal di sebuah rumah bersama tiga keluarga lainnya.

"Kami datang ke sini (Amerika) dengan 50 dollar AS dan piano," ujar Van Halen.

"Kami datang dari belahan dunia lain tanpa uang, tanpa pekerjaan tetap, tanpa tempat tinggal, dan tidak bisa berbicara bahasa Inggris," tambahnya.

Dalam sebuah kesempatan lain, Eddie pernah menuturkan, ibu dan ayahnya bertemu di Indonesia saat penjajahan Belanda.

"Yang menyelamatkan kami adalah karena ayah saya seorang musisi dan lambat laun bertemu musisi lain dan manggung pada akhir pekan, mulai dari acara perkawinan sampai apa pun untuk menghasilkan uang," tutur Eddie.

Baca Juga: 4 Negara ini Punya Aturan Aneh yang Melarang Penduduknya Meninggal Dunia, Salah Satunya Italia

Mulai bentuk grup band rock

Eddie kemudian membentuk salah satu band rock paling populer pada 1980-an bersama Alexander Arthur "Alex" Van Halen (kakak Eddie), Michael Anthony, dan David Lee Roth.

Van Halen, demikian nama band itu, diambil dari nama keluarga Eddie dan Alex. Lagu-lagunya yang populer antara lain "Jump" dan "Why Can't This Be Love".

Eddie kemudian berkisah tentang perlakuan diskriminatif yang ia terima karena ia keturunan Eropa-Asia (Indonesia).

Perlakuan itu ia dapatkan saat bersekolah di Amerika.

"Sekolah pertama saya ketika itu masih memisahkan murid kulit putih dan kulit berwarna. Karena saya dianggap warga kelas dua saat itu, saya disamakan dengan orang-orang kulit hitam. Sulit sekali saat itu," ujarnya.

Baca Juga: Ade Firman Hakim Meninggal Dunia, Ungkapan Berkabung Mengalir di Unggahan Terakhirnya

Eddie mengatakan, keluarganya sangat senang bermain musik. Bahkan, saat mereka masih kecil, Eddie dan Alex sering bermain dengan panci dan wajan, sementara sang ayah berlatih musik.

Eddie sendiri tidak pernah belajar membaca not balok. Meski begitu, ia berdalih memiliki pendengaran yang tajam.

"Saya diberkahi telinga yang bagus. Saya harus melihat jari-jari saya bergerak. Percaya atau tidak, saya tidak pernah bisa bermain gitar secara bagus dalam kegelapan. Saya harus melihat jari-jari saya," ujarnya.

Untuk menjaga warna musik Van Halen tetap relevan, band itu bersikeras nggak mengikuti tren. Eddie menceritakan, bandnya pernah mencoba warna musik lain.

"Kami dikontrak oleh Warner Brothers pada 1977 di tengah tren punk dan disco. Kami tampak aneh. Tentu saja kalau main di klub kami main lagu-lagu Top 40, tetapi saya tidak pernah bisa membuat suara seperti semestinya. Saya tidak bisa meniru permainan orang," ujarnya.

Selamat jalan, Eddie Van Halen. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul"Kisah Perjalanan Imigrasi Eddie Van Halen, dari Rangkasbitung hingga Amerika".

Tag

Editor : Ngesti Sekar Dewi

Sumber Kompas.com, Twitter, Hai